Masih ingatkah kejadian tragedi kemanusiaan bom nuklir di kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang ?. Ya!, kejadian tersebut terjadi pada tanggal 06 Agustus 1945 telah meluluh lantakkan sendisendi kehidupan bagi masyarakat Jepang. Negara jepang lumpuh total, korban ribuan berjatuhan, belum lagi pengaruh efek radiasi dari bom tersebut yang dapat mengancam kesehatan korban yang tersisa. Butuh perjuangan beberapa tahun untuk membangkitkan kembali kehidupan serta harapan di Negara yang terkenal dengan Negeri Sakura tersebut. Kaisar Hirohito pada saat itu mengambil tindakan yang tergolong mengubah arah negara Jepang sampai sekarang. Sang Kaisar memanggil beberapa jenderal yang masih hidup untuk menentukan arah masa depan negaranya. Kaisar Hirohito bertanya “Berapa Jumlah Guru?”. Seketika keadaan pun senyap dan para jenderal pun bingung lalu menyanggah pertanyaan dari Sang Kaisar. Mereka mampu menyelamatkan sang kaisar walaupun tanpa Guru. Namun Sang Kaisar pun tetap dengan pendiriannya dan mempertegas “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”
Cerita nyata dari negara Jepang mempertegas bahwa betapa pentingnya peran seorang Guru dalam perkembangan maju dan tidaknya sebuah negara. Mereka menilai Guru sebagai salah satu profesi yang sangat penting dan berharga karena melalui tangan merekalah akan muncul generasi-generasi emas yang akan meneruskan perkembangan negara mereka. Masyarakat Jepang sangat belajar melalui sejarah dan menaruh respect yang besar terhadap Guru. Indonesia dinilai perlu mencontoh Jepang dalam memandang profesi Guru. Hal ini dikarenakan kondisi yang terjadi di negara Jepang kontradiktif dengan negara Indonesia. Peran Guru terutama di negara Indonesia seakan mulai terkikis dan terkesan kurang dihormati. Fungsi utama Guru dalam pendidikan adalah membentuk karakter siswa menjadi manusia seutuhnya baik itu dari segi akademik maupun dari pembentukan sikap moral spiritual maupun sosial disekolah. Fungsi tersebut terkesan kurang optimal dilaksanakan Guru di Indonesia dikarenakan mereka enggan dan sangat takut apabila menjalankan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan Undang-Undang dikarenakan akan tersangkut dengan masalah hukum dan yang lebih memprihatinkan mereka juga menerima kekerasan fisik dari oknum orang tua atau peserta didik yang ada di unit kerja mereka. Banyak sekali kasus-kasus persekusi yang menimpa Guru. Terbaru adalah persekusi terhadap Guru yang terjadi di daerah penulis yaitu di Kalimantan Selatan tepatnya SMAN 4 Banjarmasin. Aliansyah Guru dari SMA 4 Banjarmasin dipukul oleh salah satu muridnya berinisial MR karena tidak terima ditegur oleh Aliansyah untuk memasukkan bajunya (Kemeja) ke dalam celana. Pak Aliansyah hanya mencoba menjalankan tugas sehari-harinya yaitu mendisiplinkan siswa Ulah MR berujung pelaporan ke pihak kepolisian. Aliansyah melakukan mediasi di Polsek Banjarmasin Barat tak lama usai insiden pemukulan. Aliansyah menegaskan hal ini bukan dilakukan untuk menjerumuskan MR ke ranah hukum, tapi mencari jalan damai lewat mediasi. (Kumparan : 2019) Kekerasan atau persekusi yang terjadi terhadap Guru selama ini membuktikan bahwa kurangnya perhatian kita terhadap profesi pendidik terutama Guru. Banyak sekali oknum orang tua atau peserta didik apabila mendapat kekerasan atau bullying yang dilakukan oleh Guru akan langsung dilaporkan ke pihak yang berwajib, bahkan banyak juga Guru yang masuk jeruji besi. Mereka berdalih Guru tersebut telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002. Undang-Undang tersebut terkesan menjadi duri dalam dunia pendidikan karena membatasi peran guru dalam membentuk dan membina karakter Siswa di unit kerja mereka. Berbeda jika siswa atau orang tua murid yang melakukan tindak kekerasan terhadap Guru. Solusi yang ditawarkan adalah mediasi yang berujung dengan permintaan maaf oleh pelaku seperti yang dialami oleh Guru SMA 4 Banjarmasin Aliansyah tadi. Hal tersebut bagus namun, belum memberikan efek jera sehingga kejadian-kejadian serupa pasti akan terulang kembali kedepannya.
Pemerintah sebenarnya sudah memfasilitasi Perlindungan Profesi Guru melalui Undang-Undang No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bagian Ketujuh Tentang Perlindungan, pasal 39 ayat (3) yang berbunyi Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain”. Diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 39 ayat (1) yang berbunyi “guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundangundangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya”. Kemudian, ayat 2 berbunyi “sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan”. Dan yang terbaru adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pada pasal 2 ayat 1 berbunyi “Perlindungan merupakan upaya melindungi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas”. Bahkan, pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak itu sendiri pada salah satu pasalnya dapat dijadikan sebagai perlindungan untuk guru terhadap kasus-kasus yang menimpa guru di atas, yakni pada pasal 19 yang berbunyi “Setiap anak berkewajiban untuk: a. menghormati orang tua, wali, dan guru; b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia”. Pada umumnya kasus yang menyeret Guru ke ranah hukum adalah kasus dimana Guru berusaha mendisiplinkan maupun menegakkan peraturan di sekolah seperti kasus Pak Aliansyah di SMA 4 Banjarmasin. Guru sebenarnya dapat dilindungi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru pasal 39 ayat (1) dan ayat (2). Karena hal-hal seperti merokok, atribut sekolah, dan penampilan (rambut) pasti dan selalu ada diatur dalam setiap peraturan sekolah. Dan jika melanggar, setiap guru berhak memberikan sanksi dan hukuman sesuai dengan peraturan tersebut seperti yang dijelaskan dalam PP tersebut. Bahkan dalam UU perlindungan anak pasal 19 disebutkan bahwa “Setiap anak berkewajiban untuk: a. menghormati orang tua, wali, dan guru; b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia”. Sehingga, berdasarkan pasal tersebut, apabila ada peserta didik tidak menghormati gurunya, maka dapat dikatakan peserta didik tersebut melanggar undang-undang.
Kisah yang dialami oleh Bapak Aliansyah sebenarnya tidak perlu terjadi jika orang tua atau siswa juga mengerti tentang regulasi atau payung hukum yang menaungi tugas pokok dan fungsi Guru. Pemerintah seharusnya juga harus belajar dari kisah Kaisar Hirohito dalam mengambil tindakan dengan mengedukasi masyarakat betapa pentingnya peran Guru karena Gurulah titik tumpu yang akan menentukan arah berkembang atau tidaknya suatu bangsa.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian dan Dinas terkait juga wajib mensosialisasikan kepada Guru-Guru di ruang lingkup mereka bagaimana cara memberikan hukuman yang bersifat edukatif yang dikehendaki pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Pasal 39 Ayat 1 kepada setiap siswa mereka sehingga tidak terjadi mispersepsi dan implementasi yang keliru oleh Guru diruang lingkupnya.
Negara Jepang sudah membuktikannya. Mereka menjadi salah satu negara superpower dari segala bidang karena ada peran Guru didalamnya. Peran Guru yang berkompeten sangat dihormati dan penting bagi perkembangan negara mereka sekarang pasca tragedi pengeboman nuklir yang terjadi di kota Hiroshima dan Nagasaki. Indonesia jangan malu dan harus belajar banyak dari negara Jepang supaya dapat meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita. Terutama dalam bentuk penghargaan profesi Guru. Berikanlah kebebasan seluas-luasnya bagi Guru dalam mendidik dan membentuk karakter siswa sesuai koridor yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Mari bersama-sama berkolaborasi membangun iklim pendidikan yang lebih kondusif di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar